Media Berita Online Bali Terkini, Kabar Terbaru Bali - Beritabali.com

Atasi Krisis Covid-19: Mengorganisir Pemulihan Pariwisata yang Aman, Terjamin & Berkelanjutan

PorosBali.com- Selama sembilan bulan terakhir, pandemi COVID-19 telah berdampak buruk pada kesehatan, mata pencaharian, upah, dan keamanan kerja buruh hotel dan pariwisata. Pembatasan perjalanan internasional, penutupan perbatasan, dan penguncian seluruh kota telah menyebabkan penurunan dramatis dalam pariwisata internasional dan domestik.

Pada April 2020, ILO memperkirakan 15,3 juta buruh pariwisata di 14 negara di wilayah Asia Pasifik dapat kehilangan pekerjaan mereka. Tetapi karena situasi memburuk dengan cepat, lebih dari 48 juta buruh pariwisata di wilayah tersebut kehilangan pekerjaan mereka dalam enam bulan pertama tahun 2020. Di negara-negara seperti Thailand, 81% buruh pariwisata menganggur dan otoritas pariwisata baru saja mengumumkan 100,000 buruh pariwisata lainnya akan kehilangan pekerjaan mereka di bulan September.

Pada awal Februari 2020, anggota kita di hotel dan resor mengalami penurunan tingkat hunian karena pemesanan grup internasional dibatalkan satu per satu. Ini meningkat pada bulan Maret dan April karena tingkat hunian turun di bawah 15% dan acara-acara besar di wilayah tersebut, termasuk Olimpiade Tokyo, ditunda.

Dari April hingga Juli, anggota kita berjuang untuk mempertahankan pekerjaan mereka karena tingkat hunian turun menjadi nol dan hotel serta resor ditutup sementara. Sebagian besar buruh dirumahkan untuk menggunakan sisa cuti sakit and cuti tahunan berbayar, kemudian menjadi ‘no work, no pay’. Meskipun sebagian besar tidak dibayar, serikat buruh kita juga berhasil di beberapa negara untuk menegosiasikan 50% hingga 75% dari upah pokok dan dalam beberapa kasus 100%.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh serikat buruh di Courtyard by Marriott di Bandung, 50% dari upah pokok setara dengan upah minimum legal dan tidak cukup untuk menutupi biaya hidup dasar. Jaringan hotel internasional besar seperti Accor dan Marriott mengizinkan pemilik hotel membayar upah miskin, atau tanpa upah sama sekali.

Perusahaan hotel terbesar di dunia dapat dengan mudah berkontribusi dalam perjuangan menghentikan penyebaran COVID-19 dengan memastikan bahwa buruh di hotel yang ditutup dapat tetap di rumah dengan upah penuh. Perusahaan-perusahaan ini memilih untuk tidak melakukannya. Buruh hotel sekarang berada di antara buruh miskin di jalanan, mencari pekerjaan di sektor perekonomian informal. Mereka harus keluar dan mencari pekerjaan apa pun untuk bertahan hidup.

Seperti yang Tim Global Housekeeping Campaign (GHC) di Filipina temukan, banyak housekeeper yang berada dalam pekerjaan prekarius (buruh kontrak) bahkan tidak mampu membeli bahan makanan dasar tanpa bantuan keuangan. Pekerjaan mereka dengan upah rendah dan tidak aman berarti mereka sudah rentan sebelum krisis COVID-19 dan mereka sekarang menghadapi kemiskinan. Di beberapa negara, serikat buruh kita meminta bantuan keuangan dari pemerintah untuk buruh yang terkena dampak krisis.

Saat ini perjuangan utama kita adalah untuk melindungi dan mempertahankan pekerjaan dan memastikan anggota kita dapat kembali bekerja ketika industri pariwisata pulih.

Sementara beberapa negara telah membuka untuk perjalanan bisnis terbatas di bawah pengaturan bilateral, dan pariwisata domestik telah dihidupkan kembali di beberapa kawasan, sebagian besar masih tertutup untuk pariwisata. Bahkan bagi kawasan yang berencana untuk dibuka kembali – seperti Maladewa, Phuket dan Bali – kembali tutup ketika kasus COVID-19 baru dilaporkan.

Karena ini berlanjut hingga akhir tahun 2020, tidak diragukan lagi bahwa konsekuensi sosial, ekonomi dan lingkungan dari krisis ini sangat serius.

Di luar pariwisata – dampak ekonomi dan sosial

Untuk memahami sepenuhnya sejauh mana krisis ini, kita perlu mengingat kembali pentingnya pariwisata secara ekonomi sebelum pandemi COVID-19. Menurut UNWTO pada tahun 2019 terdapat 1,5 miliar kunjungan wisatawan internasional dan 8,8 miliar kunjungan wisatawan domestik. Belanja pengunjung internasional mencapai USD 1,5 triliun pada 2019, dan pariwisata menyumbang 29% dari ekspor jasa global dan 7% dari total perdagangan global.

Pada 2019, industri pariwisata global secara langsung mempekerjakan lebih dari 300 juta buruh, termasuk 144 juta buruh di bidang perhotelan dan layanan makanan. Lebih dari setengahnya adalah perempuan (dengan rata-rata global 54%) dan sebagian besar buruh pariwisata adalah pemuda. Jika kita memasukkan pekerjaan langsung dan tidak langsung, sektor pariwisata mempekerjakan satu dari setiap sepuluh orang yang bekerja secara global.

UNWTO sekarang memperkirakan bahwa secara global lebih dari 120 juta pekerjaan pariwisata terancam. Namun, lebih banyak lagi buruh yang secara tidak langsung dipekerjakan di bidang pariwisata dan buruh di sektor informal juga akan terdorong ke dalam pengangguran dan kemiskinan.

Karena kedatangan pariwisata internasional turun dari 1,5 miliar menjadi kurang dari 400 juta pada tahun 2020, hilangnya pendapatan ekspor sebesar USD 1,2 triliun akan berdampak pada semua industri lainnya (makanan dan minuman, layanan makanan, ritel, transportasi, hiburan) yang bergantung pada pariwisata. Menurut UNCTAD hal ini dapat mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar USD 3,3 triliun.

Dampaknya tidak hanya sosial dan ekonomi. Seperti yang diamati dalam laporan kebijakan PBB baru-baru ini tentang pariwisata, tanpa pendapatan yang dihasilkan dari pariwisata tahun ini, banyak situs warisan ekologi dan budaya yang dilindungi kehilangan pendapatan yang dibutuhkan untuk mempertahankan buruh dan memelihara serta melestarikan situs-situs ini. Banyak pekerjaan untuk memastikan keberlanjutan ekologi lokal di tujuan wisata yang terancam. Dan karena semakin banyak buruh yang menganggur di daerah pedesaan dan pesisir, mereka terpaksa mencari mata pencaharian melalui pembukaan lahan untuk pertanian, perikanan, perburuan, dan kehutanan yang nantinya memilki dampak signifikan terhadap lingkungan.

Dalam hal situs warisan budaya, kurangnya perlindungan dan pemeliharaan karena hilangnya pendapatan dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang dan beberapa situs mungkin tidak akan pernah dibuka kembali.

Dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang luas dari krisis pariwisata tidak hanya menunjukkan biaya yang sangat besar dari pandemi COVID-19. Ini juga menunjukkan mengapa pemerintah harus menginvestasikan sumber daya, mengalokasikan dana publik, dan memberikan prioritas pada pemulihan berkelanjutan industri pariwisata. Bagian utama dari ini adalah untuk memberikan perlindungan pekerjaan, perlindungan sosial, bantuan pendapatan, dan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan buruh hotel dan pariwisata.

“Kami bukan terlalu banyak, kami siap bekerja kembai!”

Argumen utama dalam melindungi buruh hotel dan pariwisata adalah pariwisata akan mulai pulih tahun depan, dan industri harus siap untuk pemulihan ini. Ini berarti siap dalam hal protokol kesehatan dan keselamatan, siap dalam hal fasilitas, dan siap dalam hal buruh hotel dan resor yang terampil dan berpengalaman – anggota kita.

Pemerintah harus membantu usaha kecil dan menengah, khususnya hotel-hotel kecil untuk mempertahankan buruh. Mayoritas buruh hotel bekerja di usaha kecil dan menengah. Hotel dan resor kecil ini perlu bantuan melalui penjadwalan ulang pajak, pinjaman bank dan pembayaran utilitas, akses ke kredit, dan bantuan lain untuk mencegah kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja. Bantuan ini hanya boleh diberikan kep
ada hotel dan resor yang mempertahankan buruh dan membayar upah dan tunjangan mereka secara penuh. Di hotel dan resor kecil yang benar-benar tidak mampu untuk membayar upah, bantuan pendapatan pemerintah harus diberikan kepada buruh secara langsung.

Untuk jaringan hotel dan konglomerat nasional dan internasional yang lebih besar, pemerintah harus menegakkan retensi buruh, pembayaran penuh upah dan tunjangan serta penghormatan terhadap hak-hak – termasuk kesehatan dan keselamatan. Jaringan hotel dan konglomerat nasional dan internasional tidak dapat menggunakan berkurangnya pendapatan di tahun 2020 sebagai alasan untuk menahan upah dari buruh atau untuk memecat buruh. Sebelum COVID-19, mereka mengakumulasi beberapa tahun – dan di beberapa kasus beberapa dekade – arus pendapatan dan laba tunai yang tinggi. Pemerintah harus memberlakukan kebijakan pemulihan pariwisata yang mengharuskan perusahaan-perusahaan ini untuk menggunakan sumber daya keuangan mereka untuk membayar buruh secara penuh dan mempertahankan mereka dengan perlindungan pekerjaan terjamin.

Harus jelas: Mempertahankan buruh adalah investasi dalam pemulihan pariwisata.

Setiap pengusaha yang memberhentikan buruh atau menyatakan PHK telah merusak persiapan pemulihan pariwisata ini dan harus dimintai pertanggungjawaban.

Biaya dari tidak mempertahankan buruh ditunjukkan oleh Resort World di Genting, Malaysia. Manajemen berpadangan sempit ketika memaksa membuat 2.818 buruh dan 155 staf eksekutif redundan [PHK] di bulan Mei-Juni 2020. Perusahaan tidak hanya menolak untuk terlibat dalam negosiasi dengan serikat eksekutif GMBEU, melanggar hak-hak serikat buruh, tetapi juga memberlakukan program redundasi massal tanpa memahami ‘redundansi’.

Redundansi berarti bahwa pekerjaan tertentu dan keterampilan yang terkait dengan peran pekerjaan tersebut tidak lagi dibutuhkan oleh bisnis. Dalam situasi ini, mungkin buruh yang menjalankan pekerjaan itu perlu dipindahkan atau mengambil separasi sukarela. Namun, ini hanya dibenarkan sebagai redundansi jika peran pekerjaan tertentu tidak lagi ada atau keterampilan yang terkait dengan pekerjaan tersebut tidak lagi diperlukan. Di hotel dan resor yang ditutup sementara, peran pekerjaan tidak redundan. Mereka akan dibutuhkan segera setelah bisnis dibuka kembali dan pariwisata domestik dan internasional dilanjutkan.

Di Resort World Genting, bisnis dibuka kembali dalam waktu tiga minggu setelah redundansi massal. Akibatnya, terjadi kekurangan staf. Tidak cukup buruh untuk membuka kembali sepenuhnya. Pada saat yang sama, anggota kita yang masih bekerja mengalami beban kerja dua kali lipat atau tiga kali lipat. Kekurangan ini terjadi karena para buruh yang dinyatakan redundan di bulan Mei dan dibebaskan di bulan Juni sebenarnya tidak redundan – mereka sangat dibutuhkan. Peran pekerjaan mereka masih ada dan keterampilan pekerjaan anggota kita sangat penting untuk pemulihan bisnis sepenuhnya.

Dalam presentasi kepada Anggota Parlemen ASEAN pada 9 Agustus, Sekertaris Regional IUF Asia/Pasifik menyoroti kasus Resorts World Genting serta perlunya retensi dan perlindungan pekerjaan yang lebih besar di industri perhotelan, pariwisata, dan layanan makanan. Saat industri pulih, pelanggan akan membutuhkan layanan yang lebih baik, di lingkungan yang lebih aman dan lebih terjamin. Dan ini tergantung pada anggota kita yang berpengalaman dan terampil.

Pada saat yang sama, pengusaha menggunakan krisis ini untuk menyerang serikat buruh. Di Accor Sofitel Nusa Dua di Bali, Indonesia, pemimpin serikat buruh di-PHK karena menolak menerima pengaturan no work-no pay secara sukarela. Di Accor Fairmont Sanur Hotel Resort di Bali, 38 anggota serikat buruh yang baru dibentuk di-PHK secara tidak adil di bawah pengunduran diri “sukarela” paksa. Hanya mereka yang setuju untuk keluar dari serikat yang dapat kembali bekerja. Di Holiday Inn Galleria Manila di Filipina, manajemen mem-PHK secara tidak adil pemimpin serikat dan anggota, melangkahi negosiasi serikat dan transfer paksa. Keanggotaan serikat berkurang dari 80 menjadi 17.

“Hak kita untuk tempat kerja yang aman!”

Di sebagian besar negara, dibutuhkan beberapa bulan lagi sebelum industri pariwisata mulai pulih. Sangat bergantung pada pemulihan selangkah demi selangkah dari pariwisata domestik dan acara-acara (pernikahan, jamuan makan, konferensi), diikuti dengan kembalinya pariwisata dan perjalanan internasional secara bertahap.

Tidak diragukan lagi bahwa pemulihan akan memakan waktu. Itu akan menantang. Salah satu tantangan terpenting adalah memulihkan keyakinan dan kepercayaan diri orang-orang dalam melakukan perjalanan lagi dan bagi tamu untuk kembali ke hotel. Keyakinan dan kepercayaan ini akan bergantung pada apakah wisatawan dan tamu dapat yakin bahwa hotel dan resor hotel kasino aman.

Satu-satunya cara untuk menjamin hotel atau resor hotel kasino yang aman adalah dengan mengembangkan dan menerapkan pedoman komprehensif tentang kesehatan masyarakat dan sanitasi (protokol keselamatan) dan secara langsung melibatkan buruh melalui serikat mereka.

Sebuah hotel yang aman pada akhirnya bergantung pada layanan yang diberikan oleh buruh yang berpengalaman dan terampil dalam pekerjaan yang terjamin. Membuat orang mengatasi ketakutan dan kecemasan serta menjadi wisatawan dan tamu yang percaya diri lagi berarti menjamin kualitas layanan dan keamanan. Keterampilan dan pengalaman di balik layanan ini menciptakan kepercayaan.

Langkah-langkah harus diambil untuk memastikan bahwa setiap orang – manajemen, buruh dan tamu mematuhi pedoman ini. Bagi buruh, kepatuhan terhadap protokol atau pedoman apa pun dan penerapannya sehari-hari tidak dapat mengandalkan hukuman dan ancaman. Ini harus didasarkan pada pengaturan kerja yang lebih baik, lebih banyak pelatihan, pekerjaan yang aman, dan keterlibatan aktif buruh.

Ketika hotel dan resor dibuka kembali, buruh akan berada di garis depan paparan pekerjaan terhadap COVID-19. Interaksi terus-menerus dengan orang-orang dari jarak dekat dalam keramaian di hotel dan resor, berarti terus menerus terpapar risiko COVID-19 di tempat kerja. Hotel adalah tempat umum: makan, istirahat, tidur, menjamu, bertemu, bekerja, di ruang tertutup. Buruh hotel – bekerja terus menerus di ruang itu – perlu pulang ke keluarganya dengan sehat.

Akhirnya, disadari bahwa kesehatan dan sanitasi sangat penting untuk menjamin hotel yang aman dan kesehatan masyarakat. Pekerjaan cleaner, housekeeper, room attendant, pencuci piring, dianggap esensial. Ini tidak dapat lagi diperlakukan sebagai pekerjaan “tidak terampil”, non-inti untuk dialihdayakan dan dibayar rendah. Ini adalah pekerjaan yang menentukan apakah sebuah hotel aman atau tidak. Hidup bergantung padanya. Itu adalah pekerjaan yang memiliki nilai dan nilai itu sekarang harus diterjemahkan menjadi upah yang lebih baik dan pekerjaan yang aman.

Pada tanggal 9 Mei 2020, Sekertaris Regional IUF menyampaikan kekhawatiran ini kepada Dr. David Nabarro, Utusan Khusus COVID-19 Direktur Jenderal WHO. Dijelaskan bahwa pekerjaan prekarius (pekerjaan tidak aman dengan kontrak kerja kasual dan jangka waktu tetap atau agen penyalur tenaga kerja) merusak prospek tempat kerja yang aman. Kita telah melihat standar ganda di banyak perusahan dimana buruh kasual tidak menerima Alat Pelindung Diri (APD) dan hak-hak yang sama seperti buruh reguler. Di industri tertentu, buruh kontrak juga biasa diwajibkan untuk menyediakan APD mereka sendiri atau biaya APD dipotong dari upah mereka. Buruh dengan kontrak “jam kosong” (tidak ada jaminan jumlah jam kerja) atau buruh kasual stand by (“no work, no pay”) harus bekerja kapan saja, termasuk saat sedang sakit. Tidak melapor karena sakit berarti tidak ada upah sama sekali. Itu juga berisiko tidak dipanggil untuk bekerja lagi. Ini menciptakan dorongan yang kuat untuk menyembunyikan sakit.

Sama pentingnya dengan itu adalah iklim ketakutan. Mudahnya dipecat melalui kontrak jangka pendek yang tidak diperpanjang (atau tidak dipanggil kembali untuk bekerja), dikombinasikan dengan upah rendah, berarti buruh di pekerjaan yang tidak aman terlalu takut untuk berbicara. Alih daya pembersihan kamar yang ekstensif di hotel berarti kita memiliki seluruh tenaga kerja housekeeper dengan upah rendah dan pekerjaan tidak aman menghadapi risiko tinggi terpapar COVID-19, tetapi menghadapi risiko pengangguran yang lebih besar jika mereka angkat bicara.

Sebagai buruh garis depan yang rentan di era COVID-19, kemampuan para buruh ini untuk berkontribusi dan menjadi bagian dari tempat kerja yang aman bergantung pada dua kondisi penting: pekerjaan yang aman dan hak untuk bergabung dengan serikat buruh.

“Membangun kembali pariwisata dengan lebih baik” pemulihan pariwisata yang berkelanjutan

Krisis COVID-19 mengungkap betapa rapuhnya industri pariwisata internasional. Negara kita menjadi terlalu bergantung pada pariwisata paket massal dan operator tur internasional. Terlalu banyak uang yang dihabiskan wisatawan untuk paket prabayar sebelum bepergian dan tidak cukup dihabiskan di tempat tujuan.

Pariwisata yang berlebihan sama sekali tidak berkelanjutan. Kita tidak bisa kembali ke sini.

Meningkatnya wisata ekologi dan wisata petualangan menyebabkan pencemaran dan kerusakan pada lingkungan kita yang rapuh. Laporan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) yang berjudul Mencegah Pandemi Berikutnya menyatakan bahwa wisata ekologi atau wisata alam membutuhkan pengelolaan yang lebih baik untuk memastikan tidak ada perusakan habitat atau kontak dengan hewan atau vektor lain (seperti serangga) yang meningkatkan penularan penyakit dari hewan ke manusia. Penyakit zoonosis seperti virus korona baru SARS-CoV-2 muncul sebagian karena perusakan habitat dan paparan hewan terhadap manusia.

Untuk “membangun kembali dengan lebih baik” harus ada peran yang lebih besar dari pemerintah dalam mengatur industri pariwisata untuk memastikan bahwa industri tersebut berkontribusi kepada masyarakat lokal, menciptakan pekerjaan yang layak, melindungi serta meregenerasi sumber daya lokal dan lingkungan.

Ringkasan Kebijakan COVID-19 dan Transformasi Pariwisata PBB yang diterbitkan pada Agustus 2020, melihat krisis ini sebagai “peluang untuk mengubah hubungan pariwisata dengan alam, iklim, dan ekonomi.” Salah satu bagian dari peta jalan ini adalah untuk mempromosikan penggunaan sumber daya yang lebih berkelanjutan, mengurangi emisi karbon, mempromosikan energi terbarukan, dan mengurangi polusi. Namun peta jalan ini juga “mengutamakan masyarakat”, dengan memprioritaskan perlindungan mata pencaharian, pekerjaan, dan pendapatan, terutama pekerjaan perempuan dan keamanan ekonomi.

Pada akhirnya, pemerintah harus secara langsung berinvestasi dalam pemulihan dan keberlanjutan jangka panjang industri pariwisata serta meningkatkan kendali dan kepemilikan publik. Investasi dan kepemilikan publik ini harus mencakup perlindungan lingkungan yang komprehensif dan situs warisan budaya. Hal ini berpotensi menciptakan jutaan pekerjaan ramah lingkungan baru di industri pariwisata yang nilai dan kontribusinya ditentukan oleh pelestarian lingkungan jangka panjang dan mitigasi perubahan iklim. Ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa pariwisata berkelanjutan.

 

Oleh: Firra Tania Indrianty
Staff IUF Asia/ Afrika


TAGS :

Komentar