Media Berita Online Bali Terkini, Kabar Terbaru Bali - Beritabali.com

Pengabdian Masyarakat Universitas Mahasaraswati Denpasar di Pura Siwa Sakti Gana

Pura Siwa Sakti Gana. (Foto/ist)

Bangli, PorosBali.com- Mahasiswa Universitas Mahasaraswati menyelenggarakan pengabdian masyarakat yang bertempat di Desa Demulih, Kabupaten Bangli, dengan mengangkat tema “KUKUHKAN KOLABORASI TUMBUHKAN LITERASI”, pada Sabtu (27/08/2023)

Kegiatan pengabdian masyarakat ini dihadiri langsung oleh Ni Luh Putu Mahendra Dewi, S.Si.,M.Si selaku dosen pembimbing sekaligus narasumber serta 26 mahasiswa pengabdian masyarakat Universitas Mahasaraswati Denpasar dan kegiatan ini dibuka langsung oleh Perbekel Desa Demulih,  I Nyoman Wijana, SE didampingi Jro Bendesa Adat Tanggahan Talang Jiwa, I Wayan Sukadana yang juga narasumber Pura Siwa Sakti Gana dan Pekak Mangku Wayan Wardana selaku Jro Mangku di Pura Siwa Sakti Gana. 

Kegiatan pengabdian masyarakat kali ini dengan mengadakan beberapa kegiatan, salah satunya yaitu tentang Eksistensi Pura Siwa Sakti Gana
 

 

Pura Siwa Sakti Gana diyakini pula oleh masyarakat sekitar untuk memohon perlindungan dari segala macam penyakit atau merana. Demikian pula, masyarakat sekitar sangat percaya akan kekuatan gaib yang dimunculkan oleh arca Ganesa, sehingga Pura Siwa Sakti Gana menjadi tempat yang sangat disakralkan. Dewa Ganesa sendiri dalam mitologi Hindu adalah dewa putra dari dewa Siwa yang memiliki fungsi sebagai dewa penghalau dari segala macam rintangan. Bertumpu pada hal itu, masyarakat desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa memuja arca dewa Ganesa dalam setiap piodalan atau pujawali. Uniknya adalah pada saat masyarakat melakukan pemujaan terhadap Ista Dewata, terlebih dahulu dewa Ganesa yang berwujud arca di puja.

Berdasarkan genealogis sejarah, pura ini memiliki keterkaitan dengan sejarah kerajaan Taman Bali, hal tersebut dibuktikan dengan arca dewa Siwa yang menduduki arca lembu Nandini. Demikian juga keunikan lainnya terdapat pada struktur pura yang memiliki fungsi masing-masing. 

Mengingat dalam melaksanakan penelitian ini di dalam wilayah desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli maka pada awal dalam penyajian ini akan diuraikan terlebih dahulu gambaran umum objek desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa mengenai:

 

Sejarah Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa

Berdasarkan wawancara mantan Bendesa Adat, Sang Nyoman Polih (6 Maret 2013), ketika berjayanya kerajaan Taman Bali hingga menguasai daerah Bangli. Pada tahun 1800 yang lampau diceritakan Bangli diperintah oleh I Dewa Gede Tanggeban pada waktu itu Bangli dibagi menjadi empat punggawa atau Kecamatan yaitu Apuan, Susut, Kayubihi, Dusun Jehem. Apuan dan Susut sebagai benteng dari Bangli, di sebelah barat sebagai gelar bulan sabit yaitu Selat Peken, Selat Tengah, Selat Kaja Kauh, Selat Nyuhan, Selat Penghyangan karena seringnya diserang oleh Kerajaan Gianyar.

Kerajaan Bangli bermusuhan dengan kerajaan Gianyar, dan ketika Raja Bangli perang dengan kerajaan Gianyar yang kemudian didengar oleh penduduk yang berada di desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa Kecamatan Susut Kabupaten Bangli yang merupakan daerah kekuasaan dari kerajaan Taman Bali yang dulunya desa ini tidak memiliki nama, pendudukpun merasa takut dan pada akhirnya pergi meninggalkan desa itu menuju desa Tegal Saat Gianyar. Setelah penduduk desa itu pergi desa Tanggahan Talang Jiwa menjadi kosong.

"Kerajaan Taman Bali ada sesuatu yang membuat Raja Taman Bali merasa sangat resah karena tembok pembatas istana (penyengker) tidak pernah lurus sesuai dengan garis yang ditentukan. Sudah beberapa orang ahli yang didatangkan oleh Raja Taman Bali tapi tidak ada yang bisa meluruskanya Datanglah seorang pendeta yang bernama Pedanda Wawurauh yang bertujuan untuk menguji kejujuran dan kesabaran sang raja, beliau menghadap sang raja dengan cara menyamar diri sebagai rakyat biasa dan memintak kepada sang raja agar mengijinkan beliau untuk mencoba atau diberikan kesempatan meluruskan tembok (penyengker) yang dimaksud oleh raja Taman Bali. Pendeta yang menyamar sebagai rakyat biasa itupun segera mencoba untuk meluruskan tembok (penyengker) dan akhirnya pendeta itu berhasil. Melihat usaha pendeta itu berhasil raja Taman Bali menjanjikan akan memberikan hadiah kepada pendeta itu," jelasnya.

Kegiatan upacara di Pura Siwa Sakti Gana. (Foto/ist)

 

Ketika kerajaan Taman Bali akan mengadakan suatu upacara, anggota kerajaan Taman Bali sangat sibuk untuk mempersiapkan alat-alat upacara itu. Pada saat itulah pendeta itu datang untuk memintak janji pada sang raja atas jasa beliaulah yang telah berhasil meluruskan tembok (penyengker) yang membuat raja Taman Bali merasa sangat resah. Karena Sang Raja sangat sibuk untuk mempersiapkan upacara sehingga merasa kesal kepada pendeta itu, kemudian Sang Raja mempunyai niat buruk untuk memberikan kotoran Sang Raja kepada pendeta dengan berwadahkan takilan yang terbuat dari daun pisang. Kemudian takilan itupun langsung diberikan kepada pendeta itu, karena pendeta itu tidak mengetahui apa isi dari akilan itu beliau merasa sangat senang dan berterimakasi pada Sang Raja kemudian pendeta itu memintak undur diri.

Sesampainya pendeta itu disebuah desa, takılan yang terbuat dari daun pisang itu langsung dibuka oleh pendeta, karena tempat membuka takilan tersebut berada di suatu desa maka desa itu diberi nama desa Gaga yang artinya Gagah Bertapa terkejut dan marahnya pendeta itu setelah mengetahui isi dari takilan itu adalah kotoran dari Sang Raja, dengan perasaan kecewa dan marah beliau membuang kotoran tersebut disebuah persawahan yang kemudian diberi nama sawah lai dan sekarang lebih terkenal dengan "Subak Tai" tempatnya berada di desa Petak. Karena sakeng marah dan kesalnya pendeta itu mengutuk agar kerajaan Tamanbali akan selalu terjadi perang saudara. Kutukan dari pendeta itu menjadi kenyataan bahwa memang benar pada akhirnya Kerajaan Taman Bali sering terjadi perang saudara sehingga membuat kerajaan itu menjadi sangat lemah. Salah satu keturunan dari Kerajaan Taman Bali yang berkuasa di Bangli yang bernama Ngakan Pog, yang mengalami perang saudara sehingga Ngakan Pog akhirnya meninggal. Kemudian sanak keluarga beliau yang masih hidup dan meninggalkan pusat kerajaan menuju ke Alas Beng, sebelum beliau sampai di daerah tujuan beliau melewati desa Tanggahan Talang Jiwa yang kosong tadi, yang ditinggalkan ke desa Tegal Saat. Disinilah para sanak keluarga Ngakan Pog membangun sebuah pura parhyangan untuk memuja kebesaran Tuhan dengan sela manifestasinya. Pura parhyangan ini diberinama pura Penataran Gana, daerah tempat mendirikan parhyangan ini diberinama desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa. Di desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa inilah para sanak keluarga Ngakan Pog dapat mempertahankan kehidupanya dari pembantaian pasukan yang menyerang kerajaanya. Talang berarti penyangga dan Jiwa berarti Roh pemberi kehidupan, sehingga Tanggahan Talang Jiwa juga diartikan mempertahankan kehidupan. Beberapa lama kemudian para sanak keluarga Ngakan Pog melanjutkan perjalanannya menuju alas Beng, sebelum meninggalkan desa Tanggahan Talang Jiwa disuruhlah seorang kepercayaan dan keluarga Ngakun Pog yang bernama Dewa Ketut Bakas menjadi Sang Mekel yang dipercayai untuk menjaga desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa dan para sanak keluarga dari Ngakan Pog ini berpesan kepada Dewa Ketut Bakas dari manapun nanti ada orang yang yang datang dengan tujuan baik untuk menetap di desa ini agar dirangkul dan diajak bersama-sama untuk menjadi penduduk desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa. Kemudian datanglah orang dari berbagai daerah yaitu dari Bangli, Taman Bali, Mas Gianyar, Madang Gianyar, Sidawa, Babaan, dan danı Tulikup.

Ida Bhatara Sasuhunan Pura Dalem Tanggahan Talang Jiwa yang tedun.ke Pura Siwa Sakti Gana pad saat Pujawali di Pura Siwa Sakti Gana. (Foto/ist)

 

Dikatakan, dulunya penduduk asli yang pergi ke Tegal Saat sudah menjadi hal yang wajib dan bisa untuk ikut hadir dan bersembahyang di Pura Siwa Sakti Gana yang walinya jatuh pada Sukra Manis, wuku Langkir. Akan tetapi karena seiring dengan waktu dan berkembangnya pengetahuan dari penduduk desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa yang berhasil meinbentuk suatu kelompok tari Drama Gong dan Calonarang yang sudah terkenal sehingga sering pentas diberbagai tempat, dan membuat kerajinan tikar yang dapat menaikan perekonomian penduduk. Pada saat itu membuat penduduk asli merasa sangat iri ketika kelompok tari desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa pentas di desa pakraman Tegal Saat Gianyar Ketika tan itu pentas Bendesa Adat Tegal Saat mempunyai niat buruk untuk mencari orang sakti agar bisa merusak bahkan ingin menghancurkan petas tari calonarang yang sedang berlangsung. Bendesa Adat Tegal Saat tidak perduli seandaina ada korban jiwa pada saat pentas tari calonarang tersebut. Tetapi niat jahat Bendesa Adat dan masyarakat Tegal Saat tersebut tidak berhasil, ini semua dipercaya karena kebesaran Tuhan Yang Maha Esa yang berkuasa di Pura Siwa Sakti Gana Pada saat di Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa hanya ada satu pura saja yaitu Pura Siwa Sakti Gana

Sementara sesuai hasil wawancara dengan Sang Pekak Ade Bakas, (6 Maret 2013) yang merupakan salah satu dari anggota kelompok tari di desa tersebut, Sang Pekak Ade Bakas merasakan hal yang tidak seperti biasanya pada saat menari. Ia merasakan semua gerakan tariannya pada saat itu di luar dari kesadarannya. Dengan kejadian ini masyarakat desa pakraman Tegal Saat merasa sangat malu kepada masyarakat desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa. Pada suatu saat masyarakat desa pakraman Tegal Saat berkunjung ke desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa dan bertepatan dengan masyarakat desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa sedang mengadakan gotongroyong untuk memanen hasi kelapa. Masyarakat desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa yang pada waktu memanen kelapa tersebut membawa sabit sebagai alat untuk memanen kelapa datang dari arah utara, sedangkan masyarakat desa pakraman Tegal Saat datang dari arah selatan, sehingga terjadilah kesalah pahaman antara masyarakat desa pakraman Tegal Saat dengan masyarakat desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa Masyarakat Desa Pakraman Tegal Saat menduga masyarakat Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa mengusir dengan mengunakan senjata sabit tanpa banyak perambangan masyarakat Desa Pakraman Tegal Saat segera meninggalkan Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa.

"Merasa diperlakukan seperti itu masyarakat desa pakraman Tegal saat mengutuk agar kelompok tari atau organisasi apapun yang dibuat oleh masyarakat desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa tidak bertahan lama. Berawal dari kejadian itulah masyarakat desa pakraman Tegal tidak pernah tidak datang bersembahyang ke Pura Siwa Sakti Gana," tuturnya.


Letak Geografis dan Batas Wilayah Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa

Desa Pakraman Tunggahan Talang Jiwa secara administrasi terletak di Kecamatan Susut Kabupaten Bangli Secara geografis, desa ini terletak pada jarak sekitar 15 km dari kota Bangli atau 45 km dari Kota Denpasar. Secara geografis batas-batas Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa meliputi:

Sebelah Utara : Desa pakraman Tanggahan Tengah

Sebelah Selatan : Desa Pakraman Selat Samplangan, Gianyar

Sebelah Barat : Sungai Sang-sang

Sebelah Timur : Sungai Cangkir.

Keadaan tanah secara umum di Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa merupakan lahan tanah yang cukup subur baik tanah ladang maupun tanah persawahan Ini dapat dilihat dari hasil tanaman atau pertanian diantaranya padi, ketela, sayur-sayuran, dan lain sebagainya. Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa bila dilihat dan iklimnya memiliki curah hujan yang cukup stabil dan ideal dari ketinggian laut. Sungai yang mengalir di wilayah Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa ini adalah sungai Sang-sung disebelah barat dan sungai Cangkir yang terletak disebelah timur desa. Kedua sungai tersebut tetap mengalir sepanjang tahun, air dari sungai tersebut digunakan untuk mandi bagi masyarakat Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa, dan digunakan sebagai sumber mata air untuk upacara adat atau keagamaan selain itu juga digunakan untuk sumber air minum.

Lokasi Pura Siwa Sakti Gana yang sangat sejuk. (Foto/ist)

 

Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa berada di ketinggian sekitar 200-300 meter dari permukaan laut. Sesuai dengan letak ketinggian daerahnya, Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa termasuk bersuhu panas sehingga merupakan daerah pertanian yang sangat ideal dan didukung dengan curah hujan yang cukup sedang dan cadangan air yang stabil dapat mendukung aktifitas penduduk sebagai petani. Disamping menjadi petani masyarakat Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa juga beraktifitas membuat kerajinan tangan seperti mengayam tikar. Keseluruhan luas wilayah desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa yaitu seluas 185,74 Ha yang terdiri dari: 

Statistik Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa

1. Tanah Ladang : 34 Ha

2. Tanah Perkebunan : 19 Ha

3. Tanah Pekarangan : 18,5 Ha 

4. Tanah Lainnya Jumlah : 15 Ha

Dengan Jumlah : 185.74 Ha

(Sumber: Profil Pembangunan Desa Tanggahan Talang Jiwa Tahun 2009)

Menurut Ketut Subrata saat diwawancarai pada 3 Maret 2013, Desa Adat Tanggahan Talang Jiwa dibagi menjadi empat tempek yaitu Tempek Kape. Tempek Tengah, Tempek Kangin, dan Tempek Kelod. Desa pakruman Tanggahan Talang Jiwa in dibagi menjadi empat tempek bertujuan untuk memudahkan dalam hal merawat kebersihan di lingkungan pura di Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa sekarang sudah memiliki empat pura, yaitu:

1. Pura Bale Agung : Keterangan (Tempek kelod yang merawat dan menjaga kebersihan pura)

2. Pura Dalem : Keterangan (Tempek kangin yang merawat dan menjaga kebersihan pura)

3. Pura Puseh : Keterangan ( Tempek tengah yang merawat dan menjaga kebersihan pura)

4. Pura Penataran Gana : Katerangan ( Tempek kaje yang merawat dan menjaga kebersihan pura)

(Sumber Profil Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa, Tahun 2009)

Beberapa Pelinggih yang ada di Pura Siwa Sakti Gana. (Foto/ist)


Kondisi Penduduk Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa

Jumlah penduduk Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa setiap tahun cenderung bertambah sedangkan luas wilayahnya tetap termasuk penggunaan Jahannya. Sehingga kepadatan penduduk terus meningkat seiring dengan perkembangan jaman yang semakin pesat, menjadi beban jika tidak ditangani secara serius. Jumlah penduduk mempunyai pengaruh penting dalam pertumbuhan dan perkembangan pembangunan disegala bidang Desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa terdiri dari 198 KK atau 768 jiwa keseluruhan yang terdiri dari 421 jiwa perempuan dan 347 jiwa laki-laki.


Sistem Pemerintahan Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa

Sistem pemerintahan Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa dipimpin oleh Bendesa Adat yang dibantu oleh segenap perangkat desa yang terdiri atas Pengliman (wakil bendesa adat) yang sekaligus merangkap merangkap menjadi Kelian Dinas, Penyarikan (sekertaris), Pengenter (bendahara), dan sinoman yang bertugas sebagai pengarah yang disesuaikan dengan besar kecilnya upacara yang dilaksanakan dan mempunyai sistem bergilir yang diganti setiap akan menyambut karya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada struktur dibawah ini.


Eksistensi Pura Siwa Sakti Gana di Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwadi Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli

Keberadaan suatu pura tidak lepas dari fungsi dan kedudukan serta masyarakat yang melaksanakan yajña atau sering disebut "pengempon" terkait dengan hal ini, dari hasil observasi dan wawancara dengan tokoh masyarakat di Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli dapat diketahui eksistensi Pura Siwa Sakti Gana di Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli adalah dapat ditinjau dari sejarah Pura Siwa Sakti Gana, struktur Pura Siwa Sakti Gana, serta Pujawali pada Pura Siwa Sakti Gana di Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.

 

Sejarah Pura Siwa Sakti Gana

Menurut Sang Pekak Ade Bakas (wawancara, 6 Maret 2013), Pura Siwa Sakti Gana dibangun oleh Dewa Pekak Taman yang berasal dari kerajaan Tamanbali. Dewa Pekak Taman diperintah untuk memimpin desa pakraman Tanggahan Talang Jiwa. Ia membangun pura yang pertama kalinya di Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa yang disebut dengan Pura Siwa Sakti Gana yang dibangun kurang lebih 250 tahun sampai sekarang Pura Siwa Sakti Gana dibangun diperbatasan Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa yang menghadap kejalan raya atau nebek jalan yang berfungsi untuk melindungi Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa dari orang-orang yang ingin berbuat jahat. Orang yang sakti bagaimanapun yang sombong dan ingin berbuat jahat di Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa akan dikutuk atau digeseng oleh Bhatara Gana. Dewa Pekak Taman Bali yang menjadi pengurus Pura Siwa Sakti Gana dan ia juga yang menjaga desa tersebut. Pura ini yang paling pertama yang ada di Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa dan disungsung oleh masyarakat Tanggahan Talang Jiwa, penduduk masyarakat Tanggahan Talang Jiwa berasal dari berbagai tempat, ada yang dari Taman Bali, Tulikup, Beng, Bangunlemah, Sidawa, Mas Ginayar, Babaan, Madangan Gianyar yang ingin menetap di Desa Tanggahan Talang Jiwa. Dewa Pekak Taman merangkul orang-orang yang datang dari desa lain yang ingin menetap di Desa Tanggahan Talang Jiwa.

Ketika Dewa Pekak Taman marah karena suatu hal, terjadilah kehancuran di Desa Tanggahan Talang Jiwa. Pada saat kehancuran tersebut, tidak ada yang mengurus Desa Tanggahan Talang Jiwa dan masyarakat pindah ke desa pakraman Tegal saat dan membawa pelinggih atau pratima, kemudian disungsunglah di Desa Tegal Saat Pelinggih atau dewa yang dipuja sekarang di desa Tanggahan Talang Jiwa merupakan putra dari Dewa Gana yang disungsung di Desa Pakraman Tegal Saat. Selanjutnya pratima dan berbagai jenis arca disthanakan di sebuah pelinggih yang kemudian disekitar pelinggih didirikan Pura Siwa Sakti Gana.

Salah satu pelinggih di Pura Siwa Sakti Gana. (Foto/ist)

 

Jadi Pura Siwa Sakti Gana merupakan pura yang pertama didirikan di Desa Pakraman Tanggahan Talang Jiwa yang berfungsi sebagai pelindung masyarakat dari orang-orang yang jahat. Pura Penataran Gana ini dibangun di perbatasan desa menghadap jalan raya yang berfungsi melindungi masyarakat Tanggahan Talang Jiwa. Selain memuja Dewa Gana di Pura Siwa Sakti Gana juga memuja Dewa Ganesa yang sudah terkenal sebagai Dewa Pelindung dan Dewa Pengetahuan.


Struktur Pura Siwa Sakti Gana

Pura sebagai tempat suci umat Hindu, dibagi atas tiga bagian, yaitu Jabaan atau halaman luar, kemudian memasuki halam kedua Jabaan Tengah, dan yang terakhir adalah Jeroan atau halaman dalam. Ketiga halaman ditempatkan dalam posisi mendatar. Masing-masing halaman dipisahkan dengan pintu masuk yang disebut dengan Candi Bentar kecuali yang menuju kejeroan disebut dengan Candi Kurung atau Kori Agung.

Pembagian atas tiga bagian seperti tersebut di atas dilandasi oleh filsafat agama Hindu, yaitu Tri Loka yang terdiri dari bhur loka (alam bawah), bhwah loka (alam antara), dan alam swah loka (alam atas), sehingga sering dikatakan, bahwa denah pura adalah berlambang alam semesta atau Bhuana Agung. Akibatnya penempatan bangunan dalam pura disesuaikan dengan pembagian tersebut di atas, seperti bangunan-bangunan suci ditempatkan di jeroan dan bangunan penunjang ditempat di halaman pertama atau jabaan, Pembagian ketiga halaman seperti di atas juga didasarkan pada konsepsi Tri Mandala, yaitu utama mandala (jeroan ), madya mandala (jaba tengah), dan nista mandala (jabaan) (Dwijendra, 2010: 2).

Jaba sisi Pura Siwa Sakti Gana. (Foto/ist)

 

Selain sebagai lambang Tri Bhuwana, pembagian pada tiga areal itu juga memiliki tiga tuntutan tatasusila bagi umat Hindu. Tututan tatasusila itu antara lain menyentuh Tri Kaya Parisuda yakni Kayika Parisuda (berbuat yang Baik), tuntutan yang kedua yakni yakni Wacika Parisuda (berkata yang Baik), dan Manacika Parisuda (berpikir yang Baik). Tuntutan tersebut sudah terlaksana ketika sudah mulai memasuki areal pura baik itu pada halaman luar, tengah dan dalam pura (Sang Nyoman Polih, wawancara, 7 Maret 2013).

Selain itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu juba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam), dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman (tingkatan) seperti Pura Agung Besakih. Pembagian pura atas dua halaman (tingkatan) melambangkan alam atas (urdhah) dan alam bawah (adhah), yaitu akasa dan prihivi. Pembagian pura atas tujuh halaman atau tingkatan melambangkan Sapta loka" yatu tujuh lapisan atau tingkatan alam atas, yang terdiri dari: Bhur loka, Bhuwah loka, Svah loka, Maha loka, Jana loka, Tapa loka dan Sapta loka. Pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbol dari "Ekabhuana", yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umunya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedangkan pembagian (loka) pada palinggih-palinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal melambangkan "Prakrti" (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal adalah adalah simbol "Purusa" (unsur kejiwaan atau spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi prakrti dengan purusa dalam struktur pura adalah merupakan simbol dari pada "Super Natural Power". Hal itulah yang menyebabkan orang-orang dapat merasakan adanya getaran spiritual atau super natural of power (Tuhan Yang Maha Esa) dalam sebuah pura (Titib, 2003: 101).

Pura Siwa Sakti Gana secara menyeluruh mempunyai denah berbentuk persegi, membujur dari arah timur ke barat. Kompleks pura ini sekarang terdapat dua buah kompleks pura, yaitu pura Masceti terletak pada bagian timur menghadap ke Barat, Pura Penataran Guri terletak di bagian utara menghadap ke selatan Bagi masyarakat Desa Pakraman Tanggahan Talang hiwa pura Ponsa Gana adalah sebagai tempat pemujaan Dewa Gana yang dipercaya oleh masyarakat memberikan perlindungan dan menjaga Desa pakraman Tanggahan Talang jiwa dari segala bencana (Dewa Sang Made Widana wawancara, 5 Maret 2013).

Pura Siwa Sakti Gana juga memiliki halaman, di masing-masing halaman terdapat palinggih-palinggih dan bangunan-bangunan yang penempatannya disesuaikan dengan fungsinya masing-masing Halaman Pura Siwa Sakti Gana dari satu halaman ke halaman berikutnya agak mendatar kebelakang Hal mi berbeda dengan pura Besakih di Karangasem dan Pura Kehen yang berada di Kabupaten Bangli. Pura-pura yang terdapat didataran rendah, walaupun pembagian halamannya atau undakanya tidak setinggi undakan di dataran tinggi, namun konsepsi untuk meninggikan halamannya yang satu dengan yang lainnya tampak merupakan suatu dasar yang utama (Sang Nyoman Raka, wawancara, 5 Maret 2013)

Inti dari konsep tersebut, di atas yakni adanya suatu perbedaan kesucian dari masing-masing halaman tengah lebih suci dari halaman luar Pembagian halaman yang tinggi, yaitu halaman jeroan yang merupakan salah satu tempat yang disucikan. Hal ini adalah mengingatkan kepada bangunan teras berundak yang merupakan bangunan pemujaan pada jaman prasejarah Di tambah lagi dengan adanya konsepsi gunung sebagi tempat suci atau tempat para Dewa bersemayam. Maka secara umum konsepsi punden berundak adalah merupakan konsepsi dasar arsitektur bangunan suci di Bali (Nengah Ardika, wawancara, 7 Maret 2013).

Kegiatan Matur Piuning Mahasiswa Universitas Mahasaraswati di Pura Siwa Sakti Gana sebelum mengadakan kegiatan Pengabdian Masyarakat di Dusun Tanggahan Talang Jiwa Saki.(Foto/ist)

 

Pembagian halaman pura di Bali yang serupa dengan Candi Penataran di Jawa Timur, adalah merupakan suatu perkembangan arsitektur yang banyak dijumpai pada pura-pura di Bali. Perkembangan pembagian halaman itu mungkin untuk pertama timbul di Jawa dan sebaliknya. Hal ini belum jelas, sehingga masi perlu dilakukan suatu penelitian yang lebih lanjut dan mendalam. Menarik perhatian, ialah disekitar situs Trowulan didapat relief yang serupa dengan bentuk pura-pura dan bentuk bangunan Meru di Bali.

Bangunan pura yang mempunyai tiga halaman luar (jabuan) dihubungkan dengan Candi Kurung atau Kori Agung. Demikian pula dengan bangunan pura di pura Penataran Gana, mulai masuk dari halaman luar ke dalam halaman tengah memasuki sebuah pintu masuk yang menyerupai Candi Bentar menghadap ke arah Selatan. Bentuk bangunan Candi Bentar itu adalah atas pecahan dua dari sebuah candi dan diberi hiasan ukiran-ukiran yang indah. Candi bentar yang terdiri dari dua bagian yang sama dan sebangun adalah merupakan perlambangan adanya dua unsur yang berbeda disebut filsafat Rwa Bhineda, seperti baik dan buruk.

Pintu masuk dari halaman tengah kehalaman dalam pura berbentuk sebuah Candi Kurung (Kori Agung) dan sebuah pintu peletasan yang terletak disebelah timur Candi Kurung, dari pintu peletasan yag terletak disebelah timur tersebut mempunyai suatu fungsi untuk mempercepat keluar masuk pura terutama bagi masyarakat penyungsungnya. Kori Agung tersebut berbentuk hampir sama seperti Candi Bentar, hanya lebih tinggi dari Candi Benter Adapun makna dari Kort Agung ini adalah diharapkan bagi yang masuk dari kori (pintu) tersebut setelah melewati Candi Bentar yang terdapat pada halaman luar (jabaan) Pikiran harus disatukan untuk memuja Tuhan atau roh suci leluhur. Di sini tanpa kebulatan tekad dan kesatuan pikiran maka sangatlah sulit untuk mendapatkan suatu penerangan dalam pemujaan. Kort Agung juga mempunyai fungsi untuk membanyangkan kebesaran, kemuliaan dunia dan kesucian yang ada didalamnya Disini berarti bahwa Candi Bentar sebagia mulut yang terbuka dan Kori Agung sebagi klep yang ada pada mulut (Ardana, 1971: 19).

Pada bagian depan atas dari Kori Agung ini tepatnya di atas pintu masuk di atas bagian ulap-ulapnya terdapat pahatan Karang Bhoma atau kepala kala Hiasan Karang Bhoma atau kepala kala mempunyai suatu pengertian bahwa bagi umat yang akan memasuki tempat suci tersebut diharapkan sudah lepas dari suatu ikatan waktu (kala) ikatan duniawi. Hiasan Bhoma yang berbentuk kepala kala (Raksasa) yang menyeramkan itu juga mempunyai fungsi sebagai penolak bahaya dari kekuatan jahat dan berfungsi sebagai pemberi perlindungan terhadap kesucian pura tersebut (Sang Nyoman Polih, wawancara, 7 Maret 2013).

Bale Kulkul di Pura Siwa Sakti Gana. (Foto/ist)

Berdasarkan uraian di atas, setelah diadakan observasi dan wawancara ke lapangan, struktur Pura Siwa Sakti Gana ini terdiri dari tiga halaman pura yakni Jaba Sisi (Nistu Mandala), Jaba Tengah (Madya Mandala), dan Jeroan (Utama Mandala). Pura Siwa Sakti Gana juga terdapat Laba pura atau tanah wilayah pura di areal laba pura ini banyak ditumbuhi pohon kelapa yang menjadikan Pura Siwa Sakti Gana sangat sejuk. Pada bagian luar pura atau Nista Mandala terdapat bangunan palinggih berupa fugu yaitu sebuah Pekuhanga Kebo Dibagian tengah pura atau Modyu Markala terdapat beberapa pulinggih atau bangunan yang dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian barat dan bagian timur Dibagian barat diantaranya adalah Palinggih Lebuh, Bale Gong merupakan tempat penabuh pada saat pujawali di Pura Siwa Sakti Gana, Palinggih Pengapu Lawang Pada bagian timur dibag lagi menjadi dua yaitu Madya Mandala dan Utama Mandala, dibagian Madya Mandala terdapat beberapa palinggih atau bangunan diantaranya adalah Perantenan atau Pewaregan, Los tempat pemujaan di pura Masceti, Palinggih Pengapit Lawang dibagian Utama Mandala terdapat beberapa palinggih diantaranya adalah: Piasan sebagai tempat Persimpangan Ida Bhatara Sri, Sedaan Ngerurah yang merupakan tempat para patih Bhatara Sri, Gedong Palinggih Ida Bhatara Sri, Padma sebagai tempat pemujaan Ida Bhatara Surya, Tugu Taksu yang bersemayam yaitu Sedaan Taksu. Pada bagian dalam pura atau Utama Mandala terdapat beberapa palinggih atau bangunan diantaranya adalah: Palinggih Dasar Bangunan Peselang, Palinggih Kelingking, Palinggih Panggungan, Los tempat pemujaan, Palinggih Pengaruman, Pesamuan, Los Penyimpenan, Pajenengan atau Bale Kul-kul, Palinggih Sedaan Pengapit, Paling Gedong. Palinggah Gedong Sri, Palinggih Sangaran, Palimpi Gedong, Palinggih Gedong, dan Palinggih yang paling utama adalah Palinggih Pengawatan Gana yang difungsikan untuk mensthanakan arca Gana atau Ganesa. (*)


TAGS :

Komentar