Media Berita Online Bali Terkini, Kabar Terbaru Bali - Beritabali.com

LPD "Padruwen" Desa Adat, Dalam Pusaran Hukum

I Wayan Yasa Adnyana, S.H.,M.H

Oleh : I Wayan Yasa Adnyana, S.H.,M.H (Advokat di Denpasar)

 

Pada saat ini, Bali memiliki 1.493 Desa Adat yang tersebar di sembilan kabupaten dan kota di Bali. Dari jumlah desa adat tersebut sebagian besar telah memiliki  baga utsaha desa adat atau bentuk badan usaha desa adat sebagaimana diamanatkan oleh Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang desa adat dalam bentuk LPD (lembaga perkreditan desa) atau dalam perda itu disebut Labda Pacingkreman Desa sebagai salah satu bentuk usaha desa adat di bidang keuangan. Usaha tersebut bertujuan untuk mensejahterakan Krama Desa Adat khususnya di bidang ekonomi dan keuangan. Akan tetapi di berita media massa, dari beberapa kasus hukum yang terungkap telah melilit LPD sebagai akibat ulah oknum pengurusnya yang melakukan penyimpangan dalam pengelolaan sehingga mengakibatkan krama desa adat  tertimpa rugi besar dan lembaga itu akhirnya hanyut dalam pusaran masalah hukum.
Jika melihat potensi keuangan yang dimiliki desa adat di Bali, yang dikelola oleh 1.430  LPD saat ini, Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat di Bali, I Gst. Agung Ketut Kartika Jaya mengungkapkan, dana yang dikelola oleh LPD tersebut tidak kurang dari 26 triliun rupiah. Jika potensi tersebut dikelola dengan benar, profesional serta dilandasi sikap serta integritas yang baik, tentu hasilnya akan mensejahterakan krama adat secara signifikan. Kesejahteraan krama adat dengan membangun sektor keuangan adat yang kuat, itulah suatu harapan yang ingin diwujudkan oleh perintis sekaligus pendiri LPD, yakni Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (alm) sejak berdirinya pada Tahun 1983 silam. Sesungguhnya, dibalik guncangan manajemen dan malapraktik pengelolaan LPD, sebagian besar LPD sebenarnya masih bisa sejalan dengan harapan itu. Karena lembaga keuangan milik desa adat tersebut masih banyak yang sehat dan tangguh dalam menghadapi dinamika ekonomi di masyarakat. Lembaga keuangan tersebut masih bisa memberikan pengayoman ekonomi pada krama adatnya karena dikelola dengan menaati prinsip kehati-hatian, berintegritas, profesional dan terbuka serta dijalankan sesuai prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan. Sehingga hasilnya sesuai harapan dan sungguh-sungguh mampu menghadirkan pengayoman ekonomi melalui kesejahteraan yang nyata kepada krama adat. Dukungan kesejahteraan tersebut, bentuknya dapat berupa pengelolaan  keuangan yang sehat dan sinergitas, simbiosis-mutual kepada krama adat dapat dilakukan melalui mekanisme manajemen/ pengelolaan yang sehat serta didukung dengan program-program stimulus ekonomi mikro-riil secara langsung. 
Agar mampu mewujudkan harapan, lahirnya kesejahteraan dengan gerakan ekonomi melalui instrumen LPD  di tengah krama adat tersebut, tentulah bukan hal  mudah. Semua lini kemasyarakatan punya peran penting melalui sinergitas untuk mewujudkan keniscayaan itu. Pemerintah tentu punya peran sangat besar, khususnya melalui peran stimulatif, regulatif, empaworring dan kontroling terhadap lembaga operasional LPD dalam rangka melindungi kesejahteraan masyarakat adat di Bali. Inilah tanggung jawab pemerintah dalam upaya untuk memastikan agar LPD sebagai entitas ekonomi adat secara nyata dan pasti mampu mengembangan sektor keuangan adat untuk kesejahteraan masyarakat adat sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Tiga aspek keseimbangan atau harmoni masyarakat adat Bali itu, yakni aspek parahyangan-pawongan dan palemahan harus dijadikan vision of life dalam mengatur dinamika ekonomi Bali sehingga menghasilkan perkembangan ekonomi masyarakat adat Bali termasuk di dalamnya LPD menjadi mekar dan berkembang untuk kasukertan/ kesejahteraan krama adat serta keseimbangan hidup, sesuai tujuan Mokhsartam Jagadita Ya Ca Iti Dharma. Pemerintah khususnya di Bali, mulai dari bupati, walikota dan Gubernur Bali harus menempatkan atensi yang lebih serius diperkuat lagi kepada keberlangsungan LPD sebagai entitas Ekonomi Adat Bali. Sehingga dalam bingkai tanggung jawab itu, keberhasilan atau kegagalan terhadap LPD dalam mengelola sumber daya, pemerintah memikul tanggung jawab melekat.    

Sebagai contohnya, saat ini dari 1.430 LPD milik desa adat di Bali, 30 LPD telah tersangkut persoalan hukum terkait dengan kesalahan dalam mengelola LPD. Berdasarkan sebagian besar kasus hukum tersebut, terbukti dominan dipicu oleh kesalahan sumber daya manusia pengelolanya. Lingkaran tanggung jawab dari elemen sumber daya manusia (SDM), mulai dari unsur prajuru adat, panureksa/ pemeriksa/ pengawas dan ketua LPD serta manajamen internal LPD (prajuru LPD) cenderung selalu terlibat dalam kesalahan pengelolaan tersebut sehingga mereka tidak terhindarkan, akhirnya terseret dalam pusaran kasus hukum.  

Kerugian Nasabah Versus Penegakan Hukum.

Bercermin dari penegakan hukum atas penyelesaian kasus malapraktik pengelolaan LPD, kita bisa melihat bahwa upaya hukum ternyata belum berdampak signifikan terhadap pengembalian uang krama adat/ nasabah yang dikelola oleh LPD. Pada saat hukum ditegakkan melalui putusan pengadilan maka para pelaku tindak kejahatan terhadap keuangan LPD sering terperangkap dalam delik pidana, misalnya dalam dakwaan korupsi atau penggelapan. Sehingga para pelaku bertanggungjawab dengan menjalani pemidanaan atau pengembalian kerugian. Khusus pidana pengembalian kerugian sering telat dilakukan karena uang hasil kejahatan itu telah dikonsumsi atau diarahkan ke bentuk lain dengan cara yang cerdik sehingga sulit ditemukan, apalagi disita dan akibatnya para nasabah atau krama adat selaku deposan, tetap mengalami kerugian. Berdasarkan estimasi masyarakat, jika terjadi pemidanaan dengan kurungan penjara, biasanya mereka bersikap pesimistis dengan pengembalian kerugian itu, karena unsur kerugian akan dikompensasi dengan pidana penjara. Harapan nasabah, yang terpenting adalah pengembalian uang mereka yang menjadi korban.

Melihat kenyataan itu, selain tekanan dari hukum positif, penguatan hukum adat (awig-awing, pararem dan sanksi sosial lainnya) perlu diperkuat sehingga dapat mencegah etikad buruk para pengelola LPD tersebut dalam menjalankan tugasnya. Selain sanksi adat, upaya seleksi calon  pengelola selain aspek profesionalisme, penting memasukkan sanksi spiritual (Dewa Saksi) pada saat rekrutmen sumber daya manusia sehingga nuraninya berada dalam komitmen kejernihan dalam pengelolaan LPD sesuai unsur parahyangan dalam konsep Tri Hita Karana. Selain itu, terkait rencana pemerintah untuk membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai perlindungan bagi nasabah LPD, merupakan hal baik dan ditunggu-tunggu oleh krama adat. Upaya itu pastilah tidak bisa segera, masih merupakan satu wacana saja. Sebab jika ada upaya kearah itu, pasti harus menggerakkan legislator dalam upaya pendekatan agar legislasinya terlaksana sehingga regulasi dapat dilakukan revisi dengan cepat dan tepat. Perlu diingat, itu adalah proses politik, sehingga agar dapat melahirkan regulasi baru terkait dengan LPD, perlu waktu, biaya, dan kemauan politik dari organ-organ politik yang ada. Jalannya pasti berliku bagai jalannya ular. Ini tidak akan menjamin kepastian hukum. Lalu, upaya apa yang bisa dilakukan agar dengan segera dapat menyelamatkan LPD, sehingga tidak terus terpuruk, dan kehilangan kepercayaan krama adat. *


TAGS :

Komentar